Sabtu, 12 Juni 2010

Pengembangan kompetensi SDM kependidikan

LATAR BELAKANG

UU 20/2003 tentang sisdiknas pasal 50 ayat 3 mengamanatkan bahwa ‘ pemerintah dan /atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional’. Untuk melaksanakan amanat ini, Direktorat Jenderal Manajemen Sekolah Menengah, melalui keputusan nomor 543/C3/KEP/2007 tanggal 14 Maret 2007 telah menetapkan 100 SMP Negeri di Indonesia untuk menjadi rintisan sekolah bertaraf internasional (SBI). Keputusan dimaksud ditetapkan setelah mendapat persetujuan dari para Bupati/Walikota dimana sekolah rintisan SBI berada.

Panduan Sistem Penyelenggaraan Rintisan SBI dari direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Ditjen Mandikdasmen) memberi batasan bahwa sebuah sekolah bertaraf internasional adalah sekolah nasional yang menyiapkan peserta didiknya berdasarkan standar nasional pendidikan (SNP) Indonesia dan tarafnya internasional sehingga lulusannya memiliki daya saing internasional. Dengan kata lain, SBI adalah SNP + X (Ditjen Mandikdasmen, 2007, h.3).

SNP adalah standar yang ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang meliputi

1.standar isi & kompetensi lulusan,

2.standar kurikulum

3.standar proses pendidikan

4.standar tenaga pendidik dan kependidikan

5.standar sarana dan prasarana

6.standar pengelolaan

7.standar pembiayaan

8.standar penilaian.

Adapun ’X’ merupakan penguatan, pengayaan, pengembangan, perluasan, pendalaman, melalui adaptasi atau adopsi terhadap standar pendidikan, baik di dalam maupun luar negeri, yang telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional’ (Ditjen Dikdasmen, 2007, h.3).

Dalam penjelasannya, Direktorat PSMP menegaskan bahwa SBI adalah
suatu sekolah yang telah memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP) pada tiap aspeknya. meliputi kompetensi lulusan, isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pembiayaan, pengelolaan, penilaian dan telah menyelenggarakan serta menghasilkan lulusan dengan ciri keinternasionalan.

Adapun sekolah rintisan SBI diartikan sebagai sekolah yang berada dalam tahap uji coba dan pembinaan awal untuk dipersiapkan menjadi SBI (Dit. PSMP, 2007, h.5). Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam hal ini adalah tanggung jawa bersama antara Departemen Pendidikan Nasional dalam hal ini Direktorat PSMP, Dinas Pendidikan Provinsi dan dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.

Ilustrasi singkat ini memberi gambaran kepada kita betapa luas dan beratnya cakupan tugas yang diemban oleh sekolah rintisan SBI sehingga dapat dipastikan diperlukan sumber daya manusia yang memenuhi dan bermutu apabila tahap rintisan ingin dilalui dengan berhasil. Artikel ini akan mendiskusikan peranan pengembangan sumber daya manusia di sekolah rintisan SBI bukan saja secara sempit dalam rangka memenuhi standar tenaga pendidik dan kependidikan sebagaimana dimaksud dalam standar nasional pendidikan, tetapi juga dalam peranan sentralnya agar sekolah dapat mencapai standar-standar lain dan kemudian memberi muatan plus sebagaimana dimaksud oleh Ditjen Mandikdasmen. Artikel ini didasarkan atas asumsi bahwa delapan standar nasional pendidikan dan ke-plus-sannya hanya akan tercapai dengan SDM memenuhi dan bermutu.

SUMBER DAYA MANUSIA

Yang dimaksud dengan SDM adalah tenaga pendidik yakni kepala sekolah dan guru dan tenaga kependidikan yang meliputi pegawai tata usaha, laboran, pustakawan, teknisi dan pembantu pelaksana. Walaupun pada dasarnya peserta didik adalah bagian terbesar dari SDM di sekolah, tetapi artikel ini tidak mengangkat isu tentang peserta didik.

Standar SDM di SMP SBI

Dalam amanatnya tentang prinsip-prinsip pengembangan SBI, Ditjen Mandikdasmen menggariskan bahwa SBI harus memiliki sumber daya manusia yang profesional dan tangguh, baik guru maupun kepala sekolah, tenaga pendukung (tenaga komputer, laboran, pustakawan, tata usaha, dsb). Profesionalisme pendidik dan tenaga pendidikan ditunjukkan oleh penguasaan bidang kerjanya, etos kerjanya, penguasaan bahasa asing, (Bahasa Inggris khususnya), penguasaan ICT mutakhir dan canggih bagi pekerjaannya, berstandar internasional, dan etika global (Ditjen Mandikdasmen, 2007, h.14).

Lebih rinci, dalam penjelasannya tentang profil akhir SBI bidang SDM , Ditjen Mandikdasmen (2007) menguraikan bahwa guru SBI haruslah

a) mamadai jumlahnya

b) memiliki kualifikasi pendidikan minimal S-1

c) memiliki tingkat relevansi tinggi

d) memiliki sertifikasi profesi guru

e) memiliki kesanggupan kerja yang tinggi

f) menggunakan ICT dalam mengajar

g) mampu mengajar dalam bahasa Inggris secara efektif (TOEFL:500).

Mirip dengan profil guru yang dikehendaki, Ditjen Mandikdasmen (2007) juga membuat profil untuk kepala sekolah, pustakawan, laboran, teknisi komputer, kepala TU, dan tenaga administrasi lainnya. Masing-masing profesi memiliki spesifikasinya sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugasnya.

Kemiripan standar yang dipersyaratkan bagi profesi-profesi tersebut adalah

1. memenuhi kualifikasi pendidikan yang dipersyaratkan,

2. menguasai bahasa Inggris aktif dengan standar sesuai dengan profesinya, misalnya kepala sekolah TOEFL 500; KTU, laboran, pustakawan dan teknisi TOEFL 450 sedangkan tenaga administrasi TOEFL 400

3. menguasai infomation and communication technology (ICT) mutakhir, dan

4. memiliki etos kerja yang tinggi

Ditjen Mandikdasmen (2007) juga mempersyaratkan kepala sekolah SBI memiliki kemampuan kepemimpinan dan manajerial yang memadai agar mampu melaksanakan kepemimpinan transformasional, dan menyelenggarakan manajemen berbasis sekolah serta jika mungkin menambahnya dengan menerapkan manajemen mutu terpadu (total quality management).

Rekruitmen dan pengembangan SDM di SMP rintisan SBI

Agar dapat terpenuhi kebutuhan akan SDM sesuai dengan standar yang ditetapkan Ditjen Mandikdasmen, perlu dilakukan pengadaan dan pembinaan SDM pada SMP-SMP rintisan SBI. Pengadaan SDM di SMP rintisan SBI dapat dilakukan dengan pengangkatan maupun mutasi. Dengan pengecualian pada pengangkatan tenaga honorer, yang dapat dilakukan oleh sekolah, pengangkatan dan mutasi guru dan tenaga kependidikan merupakan kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Jika fungsi ini berjalan sesuai dengan ketentuan, baik dalam hal jumlah maupun kualitas, fungsi pengembangan SDM dalam rangka penyelenggaraan rintisan SBI menuju sekolah bertaraf internasional yang sesungguhnya akan menjadi lebih mudah. Tetapi praktik di lapangan menunjukkan pengadaan SDM sesuai dengan ketentuan sangat sulit dipenuhi. Masalah yang dihadapi setidak-tidaknya adalah sebagai berikut. 1) tidak tersedia sumber daya yang berkualifikasi sesuai dengan kriteria untuk diangkat atau dipindahkan ke sekolah rintisan SBI, 2) seandainya tersedia sumber daya yang berkualifikasi sesuai belum tentu yang bersangkutan atau pihak yang bewenang bersedia, 3) seandainya pengangkatan atau pemindahan dapat dilakukan, tenaga lama belum tentu dapat dipindahkan keluar begitu saja mengingat mereka boleh jadi merupakan personel yang telah berjasa menjadikan sekolah rintisan SBI mencapai prestasi terebut.

Memindahkan tenaga lama hanya berdasarkan kepada prinsip konformisme berarti mengesampingkan unsur history. Memang selalu dapat diargumantasikan bahwa keraguan untuk membuat keputusan drastis menggantikan personel ’tua’ yang tidak sesuai dengan kriteria dengan tenaga baru yang lebih progesif akan menghambat keberhasilan pencapaian standar internasional yang diinginkan. Tetapi patut pula diingat bahwa ’membuang’ para senior, yang tidak jarang merupakan jangkar budaya sekolah, sangat mungkin akan mengubah akar budaya yang diperlukan untuk mempertahankan budaya yang sudah baik. Perlu juga diingat mungkin akan terdapat sejumlah tertentu personel yang tidak memenuhi kriteria tetapi memiliki kepemimpinan yang sangat diperlukan untuk mengembangkan sekolah. Tidak jarang pula para senior memiliki kekuatan ’politik’ yang besar yang dapat mendatangkan masalah jika pemindahan mereka keluar bukan merupakan keinginan mereka sendiri. Masalah dimaksud dapat menjadi sangat besar apabila jumlah mereka cukup banyak dan mereka membentuk koalisi. Lebih-lebih jika mereka mendapatkan dukungan dari pihak-pihak yang memiliki pengaruh kepada pembuat keputusan. Education is no longer separated off from the other areas of policy [Pendidikan tidak lagi terpisah dari wilayah kebijakan].

Uraian tadi sama sekali tidak bermaksud bahwa sekolah rintisan SBI tidak memerlukan bantuan pengadaan SDM yang sesuai dengan kriteria. Yang dimaksud dalam artikel ini adalah, pertama, hendaknya dilakukan upaya maksimal untuk memenuhi kebutuhan SDM yang sesuai dengan kriteria dibarengi upaya serius untuk menghindari kemungkinan timbulnya masalah yang lebih besar ketika harus menggusur personel lama. Jika pemindahkan tenaga-tenaga dari rintisan SBI ke sekolah lain dilakukan, sedapat-dapatnya hal tersebut dilakukan dengan persetujuan dari yang bersangkutan. Yang kedua, perlu ditegaskan bahwa terlepas dari betapapun baiknya aspek pengadaan SDM baru di sekolah rintisan SBI, tetap diperlukan pengembangan kapasitas dan kompetensi seluruh tenaga yang ada dalam rangka mencapai standar SBI yang sesungguhnya sesuai dengan prinsip continuous development/kaizen (Eric Development Team, 2003, h.2).

SDM akan berkembang jika mereka melakukan perubahan. Oleh karena itu perubahan pada tataran individu harus terus didorong. Untuk berubah, manusia perlu belajar sebab berubah berarti memasuki pola hidup baru yang belum dikuasai sebelumnya sehingga pola itu belum tertransfer ke otak (deBono, 1980). Untuk ini orang perlu belajar terlebih dahulu, sebab ‘change is learning’ [berubah adalah belajar] (Dalin et al., 1993, p.15). Ini selaras dengan Sternberg ketika memberi definisi belajar sebagai ‘any relatively permanent change in the behaviour, thoughts and feelings that result from experience’ [ setiap perubahan yang relatif permanen dalam tingkah laku, pikiran dan perasaan sebagai hasil dari pengalaman] (Stenberg, 1994, p.236). Artinya, walaupun orang tidak berniat melakukan perubahan sebelum memulai proses belajar, jika belajarnya berhasil, akan terjadi juga perubahan pada dirinya. Disamping itu, agar perubahan terjadi sesuai dengan arah yang diinginkan, manajemen perubahan yang tertata baik mutlak diperlukan. Jika dua pernyataan ini diterima, strategi pengembangan SDM di sekolah rintisan SBI akan merupakan gabungan atau turunan dari dua kata kunci di atas: belajar dan manajemen perubahan


STRATEGI PENGEMBANGAN SDM MELALUI JALUR BELAJAR

Terdapat deretan panjang strategi perubahan SDM melalui jalur belajar yang dapat dilaksanakan di lingkup sekolah. Tetapi, dalam artikel ini hanya akan dimunculkan beberapa yang paling umum dipakai.Berikut adalah cara-cara tersebut.

1. Peningkatan kualifikasi pendidikan

Kualifikasi pendidikan formal yang dipersyaratkan bagi guru SMP rintisan SBI adalah S-1 atau D-4, sedangkan tenaga kependidikan lain adalah D-3 kecuali kepala tata usaha S-1/D-4 (Dit. PSMP, 2007, h.).

2. Pendidikan dan Pelatihan (diklat)

Diklat umumnya diselenggarakan oleh lembaga atau organisasi yang memiliki tugas pembinaan terhadap sekolah berkisar mulai dari tingkat Kabupaten/Kota sampai tingkat pusat bahkan tingkat internasional. Berbeda dengan pendidikan formal, diklat bersifat luwes dalam hal waktu. Diklat dapat dilangsungkan dari bilangan jam sampai bilangan bulan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan. Diklat dapat diselenggarakan dengan materi sesuai dengan kebutuhan atau keinginan sehingga hampir semua fungsi pendidikan di sekolah dapat di-diklat-kan: manajemen, kepemimpinan, proses belajar mengajar, administrasi, dsb. Disamping itu, instruktur diklat dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan. Mereka dapat dipilih dari kalangan akademisi, teknisi, maupun praktisi sehingga diklat dapat bersifat teoritis, teknis, maupun praktis.

3. Kursus

Seperti halnya diklat, kursus diselenggarakan oleh lembaga atau organisasi di luar sekolah. Bedanya, diklat diselenggarakan oleh lembaga atau organisasi nirlaba sedangkan kursus biasanya oleh organisasi berorientasi laba. Karena berorientasi bisnis, lembaga pengelola kursus umumnya berusaha menjual produk jasanya dalam kualitas maksimal yang dapat mereka tawarkan.

4. In-house training (IHT)

Berbeda dengan diklat dan kursus yang diselenggarakan oleh lembaga atau organisasi di luar sekolah, IHT dilaksanakan sendiri oleh sekolah. Instruktur dapat diambil dari kalangan dalam sekolah atau dari luar sekolah. Karena diselenggarakan oleh sekolah, materi IHT dapat lebih dispesifikasikan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan sekolah penyelenggaranya. Karena diselenggarakan di sekolah, IHT merupakan kegiatan yang sangat mungkin diikuti oleh semua tenaga pendidik dan kependidikan karena disamping murah, mereka juga tidak harus meninggalkan tugas dinas mereka.

5. Peningkatan Budaya Membaca

Tanpa perlu dibicarakan panjang lebar membaca masih terbukti sebagai cara belajar yang sangat efektif. Bahan dan waktu membaca dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kesempatan yang dimiliki oleh individu. Problem yang paling dominan berkenaan dengan membaca di Indonesia adalah masih rendahnya minat baca dan terbatasnya bahan bacaan. Untuk meminimalisasikan problem ini, para pemimpin kalangan pendidikan hendaknya terus-menerus memotivasi anak buah untuk meningkatkan kebiasaan membacanya. Sekolah rintisan SBI hendaknya menjadikan kebiasaan membaca sebagi kultur sekolah. Disamping itu tentu diperlukan penyediaan bacaan yang sesuai dengan kebutuhan. Dewasa ini masalah bahan bacaan cetak yang relatif mahal dapat dibantu diatasi dengan menambah sumber bacaan dari CD dan internet. Penyediaan fasilitas ICT canggih ini dan pengenalan cara mencari bahan bacaan elektronik ini aharus dilakukan oleh sekolah jika kebiasaan membaca betul-betul ingin didongkrak.

6. Aktif dalam Mail list

Mail list adalah group e-mail yang biasanya diikuti oleh orang-orang dalam kelompok minat tertentu. Para guru dan tenaga kependidikan di sekolah rintisan SBI akan mendaptkan keuntungan besar jika mereka aktif dalam mail list yang beranggotakan sejawat baik dari dalam maupun luar sekolah, baik dari dalam maupoun luar negeri.

7. Naratif (Narrative)

Naratif berkaitan dengan cerita seseorang tentang pengalamannya kepada orang lain. Walaupun naratif dengan sengaja dapat difasilitasi untuk disampaikan pada pertemuan resmi, naratif umumnya berkembang dalam suasana informal pada waktu luang. Melalui naratif, baik penutur maupun pendengar dapat memperoleh dan mengembangkan pengetahuan (Lieblich et al., 1998, h.7).

KESIMPULAN


Agar SMP rintisan SBI dapat menjalankan peran yang dibebankan kepadanya dengan baik, diperlukan SDM yang berkualitas tinggi yang setidak-tidaknya memenuhi kriteria yang ditetapkan baik oleh Ditjen. Mandikdasmnen maupun Dit.PSMP. Untuk pemenuhan kebutuhan SDM sesuai dengan kriteria tersebut, disamping dapat dilakukan pengangkatan atau mutasi, perlu juga dilakukan dengan pengembangan SDM yang ada. Karena untuk berkembang seseorang perlu berubah, maka diperlukan pemahaman yang baik terhadap seluk perubahan baik pada tingkat individu maupun pada tingkat organisasi. Untuk berubah orang perlu belajar sehingga agar terjadi perubahan, berbagai strategi membelajarkan SDM perlu dilakukan. Disamping itu, perubahan kolektif memerlukan manajemen dan kepemimpinan perubahan. Dengan demikian, agar terjadi perubahan yang efektif diperlukan manajemen dan kepemimpinan yang secara jeli dapat memanfaatkan strategi dan kepemimpinan perubahan yang mendukung.

DAFTAR PUSTAKA

Hasibuan, H. Malayu S. P. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Bumi Aksara

Anem Kosong Anem Makmun, Syamsudin Abin. 1999. Psikologi Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya

Sidi, Djati Indra. 2003. Menuju Masyarakat Belajar. Jakarta : Paramadina Suryabrata, Sumadi. 2004. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Raja Grafindo

Persada Tirtarahardja, Umar. 2000. Pengantar Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar